Monday, 29 December 2014

Pesona Alami Air Terjun Grojogan Sewu

Grojogan Sewu yang berlokasi di Pedukuhan Beteng, Desa Jtimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo menawarkan suasana liburan yang berbeda bagi Anda para penikmat suasana alam. Suasana yang masih benar-benar alami akan memberikan pengalaman yang berbeda bagi Anda.




Tak jauh dari Waduk Mini Kleco dan Desa Wisata Kalibiru, ada satu tempat yang tak boleh dilewatkan ketika Anda tengah mengeksplorasi obyek wisata di Kulon Progo, yaitu Grojogan Sewu. Grojogan Sewu sendiri masuk ke dalam wilayah Pedukuhan Beteng, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Dari Waduk Kleco, Grojogan Sewu berjarak sekira lima kilometer. Kendaraan roda dua maupun roda empat bisa dengan mudah menjangkaunya.

Semua masih sederhana dan alami. Itulah kesan yang saya dapatkan saat pertama kali datang ke Grojogan Sewu pada Kamis, 25 Desember 2014 kemarin. Areal parkir kendaraan masih memanfaatkan halaman rumah warga.  Begitupun tempat untuk berjualan makanan yang masih menggunakan bangunan dari bambu dan atap terpal.


Tempat parkir kendaraan masih sederhana dan memanfaatkan halaman rumah warga. Meski demikian soal keamanan tempat parkir tidak perlu diragukan lagi.
Warung sederhana pun telah tersedia di  Grojogan Sewu.


Setelah memarkirkan kendaraan dan membayar tiket parkir sebesar Rp 2.000,- saya melangkahkan kaki menuju ke pintu masuk obyek wisata Grojogan Sewu. Disana tidak ada bangunan loket tempat pembelian tiket masuk layaknya di tempat wisata. Yang ada hanya buku tamu dan kotak untuk sumbangan seikhlasnya. 


Pintu masuk terbuat dari bambu,  masih sangat sederhana memang namun inilah daya tarik dari tempat ini. Kesederhanaan yang ditampilkan justru memperkuat kesan natural dari tempat wisata ini.



Jadi disini pengunjung hanya perlu mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlasnya tentunya. Setelah mengisi dan melewati buku tamu, Anda akan melewati pintu masuk yang bertuliskan ucapan selamat datang di Grojogan Sewu seperti di tempat wisata pada umumnya. Namun di tempat ini pintu masuknya masih menggunakan bambu, belum dibuat bangunan permanen dari tembok.


“Betul-betul masih alami,” kata saya dalam hati. Saya pun melangkahkan kaki melewati pintu masuk itu.  Setelah melewati pintu masuk saya disambut dengan jalanan tanah. Jalanan dari pintu masuk ini sedikit menurun dan agak licin.


Akses jalan masuk ke kawasan air terjun masih berupa jalan tanah

“Dari mana mas?,” tanya seorang bapak yang kebetulan saya temui selepas pintu masuk.

“Dari Jogja pak,” jawab saya.

“Hati-hati mas jalannya licin,” lanjut bapak itu lagi.

“Air terjunnya masih jauh enggak pak?,” tanya saya.

Enggak mas, deket kok situ, mas nya ikuti aja jalan ke bawah itu. Nanti disana ada papan penunjuk jalan,” jawabnya dengan ramah.

“Makasih pak, monggo.”.





Awas jangan salah ambil jalur biar tidak tersesat.

Kemudian saya pun berjalan hati-hati mengikuti nasehat sang bapak tadi. Anak tangga dari tanah siap menuntun langkah kaki saya ke bawah secara perlahan.  Setelah melewati anak tangga, jalanan becek dan berlumpur siap menyambut saya lagi. Saya pun harus pintar-pintar memilih jalan agar tidak terperosok apalagi terpeleset. Kan malu kalau dilihat orang lain, hehehe.

Akses jalan yang berlumpur seperti ini membuat saya harus pintar-pintar memilih jalan agar tidak terpeleset.

Meskipun di sepanjang jalan dari pintu masuk hingga ke lokasi air terjun saya harus berjalan ekstra hati-hati, suasana ketenangan dan kedamaian bisa saya dapatkan disini. Apalagi di sepanjang jalan alunan khas suara gemercik air terjun seolah menyambut kedatangan saya. Belum lagi hijaunya pepohonan yang tentunya menyegarkan mata. Akhirnya jalan masuk sejauh lebih kurang 200an meter bisa saya lalui dengan mudah meskipun dalam kondisi yang becek akibat guyuran hujan.

Di sini tempat sampah yang disediakan terbuat dari bahan yang alami dan ramah lingkungan. 

Karena saya datang ke lokasi pagi-pagi, tentunya disana masih belum banyak pengunjung. Saya pun bisa puas menekan tombol shutter kamera digital saya. Karena saya datang disaat musim penghujan, tentunya saya tidak bisa mendapatkan foto air terjun yang berwarna kehijauan.





Bangku yang disediakan oleh pengelola terbuat dari bambu. Membuat susana semakin menyatu dengan alam. Sayang ada pengunjung yang meninggalkan kantong plastik seenak saja di lokasi wisata.

Setelah puas mengambil gambar saya pun bergegas naik untuk meninggalakan lokasi dan melanjutkan perjalanan.

“Sudah mas?,” tanya seorang pengunjung yang datang bersama anak balitanya. “Sudah pak, awas pak jalannya licin,” timpal saya sambil melangkah naik ke atas.

Saat saya mulai berjalan pulang penjunjung pun mulai ramai berdatangan. Ada yang datang sambil menenteng sepatu dengan kaki yang belepotan lumpur. Ada yang berjalan sambil berpegangan tangan satu sama lain agar tidak terpeleset. Ada yang berjalan pelan-pelan sambil memilih-milih jalan.

Saat tiba kembali di areal parkir, kendaraan pengunjung pun semakin banyak. Parkiran sepeda motor yang luasnya tak seberapa itu mulai disesaki dengan sepeda motor pengunjung.

“Ramai atau sepi mas?,” tanya saya ke petugas parkir yang membantu mengeluarkan sepeda motor saya.

“Ramai mas,” jawabnya sambil mengeluarkan sepeda motor saya dari deretan motor yang berjajar rapi.

“Ini kalau musim kemarau airnya surut tidak mas?,” lanjut saya kembali bertanya.

Enggak mas, air terjunya mengalir terus,” jawabnya lagi. (wahyu jati kusuma)


  •   Air Grojogan Sewu bersumber dari Goa Sumitro.
  •  Airnya mengalir sepanjang tahun.
  •  Di bawah air terjun terdapat kedung sedalam lima meter yang biasa digunakan untuk mandi dan berenang. Oleh karena itu jika ada pengunjung yang ingin berenang harus dalam pengawasan petugas jaga.
  •   Sekitar air terjun terdapat perkebunan coklat yang menambah suasana asri.







No comments:

Post a Comment